MagzNetwork

JAKARTA - Sering mengikuti festival film di banyak negara membuat sutradara sekaligus produser film, Nia Dinata, iri. Indonesia belum memiliki wadah dan komunitas yang kuat bagi sineas perempuan. Maka, sutradara film Berbagi Suami itu mendukung penuh V Film Festival (International Women Film Festival) yang baru kali pertama diadakan
di Komunitas Salihara pada 21-26 April 2009.Lewat perusahaan yang didirikannya, Kalyana Shira Foundation, Nia bekerja sama menyelenggarakan festival itu dengan Yayasan Jurnal Perempuan, Komunitas Salihara, dan Kartini Asia Network. "Tahun ini, kami putar 10 film dulu," ujarnya saat jumpa pers di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, kemarin (14/4).

Syarat mutlak film yang diputar, sesuai peraturan internasional, adalah disutradarai perempuan. Selain itu, hero atau tokoh protagonisnya perempuan. "Dan tentu saja filmnya harus bagus," tambah produser film Gara-Gara Bola itu.

Film yang akan diputar di V Film Festival pertama itu bukan hanya dari Indonesia. Sebagian diimpor dari Prancis, seperti Naissance Des Pieuvres (Water Lilies), Mother Beast-Mother Human dari Jerman, atau film dokumenter The Education of Shelby Knox dari USA.

Film bioskop Indonesia yang diputar, antara lain, Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu, Fiksi karya Mouly Surya, dan Maya, Raya, Daya milik Nan T. Achnas. "Memang masih sedikit filmnya. Tapi, minimal kami ikut prosedur yang berlaku, tidak memutar DVD bajakan. Dan, kalaupun punya DVD aslinya, kami harus punya approval letter dari distributor yang memiliki right (hak cipta, Red) dari film itu," tutur Nia.

Nia bersama panitia lain bertekad memulai festival film itu dengan legitimasi penuh dan dukungan dari komunitas film internasional. Maka, segala peraturan yang berlaku dijalani.

V Film Festival juga dirasa harus dimulai tahun ini juga. Dengan segala keterbatasan, tekad itu harus diwujudkan. Sebab, kata Nia, jika tidak sekarang, akan sulit memulainya lagi.

Padahal, menurut dia, di negara-negara yang industri perfilmannya maju dan berkembang, festival film perempuan sudah menjadi tradisi setiap tahun. "Bahkan, seperti di Amerika itu sudah established 32 tahun. Di Australia, di Seoul Film Festival di Korea Selatan juga sudah sangat besar. Ketika film saya diundang ke Creteil Women Film Festival di Prancis, itu terlihat bagaimana para sineas perempuan berdiskusi," jelasnya.

Maka, ketika sudah ada niat memulai V Film Festival, Nia sering menjadi double agent di festival film besar semacam Berlin Film Festival atau Cannes Film Festival. "Selain ikut serta, saya juga mengintip film-film perempuan yang bisa dibawa ke sini," akunya.

V Film Festival diproyeksikan menjadi festival film berskala internasional. Bukan sekadar terselenggara, Nia berharap bisa empowering atau memberdayakan para pembuat film perempuan supaya lebih termotivasi dalam berkarya. "Juga supaya mereka sadar ada wadahnya," ucapnya.

Festival film itu juga menjadi festival film perempuan pertama di kawasan Asia Tenggara. "At least, ini nanti bisa membuat networking dengan sesama sutradara perempuan di Asia Tenggara," harap Nia.

Courtesy : jawapos

0 komentar

Posting Komentar